Hukum Salat Duha Berjemaah Menurut Ulama, Sekolah Wajib Tahu

12 Januari 2023 04:00

GenPI.co Jatim - Banyak sekolah madrasah dan umum menyelenggarakan salat duha secara berjemaah untuk siswa dan siswinya.

Cara ini bagus karena salat duha memiliki keutamaan besar selain sebagai bentuk taqarrub kepada Allah SWT.

Namun menjalankan salat duha secara berjemaah menurut para ulama tidak demikian. Mengerjakan salat sunah secara berjemaah ada dua, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.

BACA JUGA:  Hari Jumat Waktu Terbaik Memperbanyak Ibadah dan Doa, Sesuai Hadis Nabi

Mengutip NU Jatim, salat sunah lainnya tidak dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjemaah, seperti salat duha, tasbih, dan tahajjud.

Penjelasan tersebut ada dalam kitab Tahrir karya Syekh Abu Zakariya Al Anshari dan juga syarahnya, Hasyiyatus Syarqawi alat Tahrir.

BACA JUGA:  Doa Hari Jumat yang Biasa Dibaca Rasulullah SAW, Yuk Terapkan

Berdasarkan penjelasan tersebut maka, salat sunah berjemaah selain Idul Fitri dan Idul Adha maka pahala yang didapat tidak dari kejemahaannya melainkan dari sisi pendidikannya.

Berikut ini penjelasan dari Syekh Abdurrahman bin Muhammad Ba‘alawi dalam karyanya Bughyatul Mustarsyidin berikut ini.

BACA JUGA:  Hukum Menikahi 2 Wanita Bersaudara Secara Bersamaan Dalam Islam

تباح الجماعة في نحو الوتر والتسبيح فلا كراهة في ذلك ولا ثواب ، نعم إن قصد تعليم المصلين وتحريضهم كان له ثواب ، وأي ثواب بالنية الحسنة ، فكما يباح الجهر في موضع الإسرار الذي هو مكروه للتعليم فأولى ما أصله الإباحة ، وكما يثاب في المباحات إذا قصد بها القربة كالتقوّي بالأكل على الطاعة ، هذا إذا لم يقترن بذلك محذور ، كنحو إيذاء أو اعتقاد العامة مشروعية الجماعة وإلا فلا ثواب بل يحرم ويمنع منها

Artinya: Salat berjemaah misalnya salat witir, dan tasbih, diperbolehkan berjemaah dalam hal ini makruh dan tidak berpahala. Tetapi jika diniatkan untuk mendidikdan menganjurkan orang-orang untuk mengamalkannya, mala bernilai pahala. Mana saja bernilai pahala jika didasarkan pada niat baik untuk kepentingan pengajaran–seperti kebolehan membaca jahar di tempat sir yang mana itu adalah makruh–maka utamanya adalah kembali ke (hukum) asal, yaitu mubah. Hal ini sama dengan berpahalanya aktivitas mubah bila diniatkan untuk taqarrub kepada Allah SWT seperti aktivitas makan dengan niat memperkuat raga untuk taat kepada Allah. Tentu saja hal itu berlaku bila mana tidak disertai dengan hal yang mengkhawatirkan seperti mengganggu orang lain atau munculnya keyakinan masyarakat atas kesunahan berjamaah sembahyang tersebut. Kalau sembahyang berjamaah itu disertai hal yang mengkhawatirkan, maka tidak berpahala, bahkan haram dan harus dicegah. (Lihat: Abdurrahman bin Muhammad Ba‘alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Beirut, Darul Fikr, juz I, halaman 136). (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Fitra Herdianariestianto

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co JATIM