Jatim.GenPI.co - Mengenal ciri diabetes militus sangat penting. Setidaknya ini akan menjadi deteksi dini untuk mencegahnya lebih parah.
Staf pengajar Universitas Airlangga (Unair), dr. Soebagijo Adi Soelistijo belum lama ini melalui webinar Airlangga Medical Scientific Week (AMSW) menjelaskan keluhan yang harus dicurigai saat terserang diabetes militus.
Dokter Soebagijo membagi keluhan tersebut menjadi dua, yakni keluhan klasik dan keluhan lain atau tidak biasa.
Pada keluhan klasik diabetes militus, biasanya meliputi poliuria, polidipsia, polifagi atau banyak makan dan disertai penurunan berat badan.
Ia mengungkapkan, penurunan berat badan ini tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
Sedangkan untuk keluhan lain yakni lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan lemah sahwat pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Ketua Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran Unair itu menjelaskan lebih lanjut tentang gejala pada penderita diabetes militus.
Menurutnya, ada dua gejala pada penderita diabetes militus, yakni akut dan kronis.
“Gejala akut disebut ‘tiga banyak’ yaitu banyak makan, banyak minum, banyak kencing," ujarnya mengutip laman resmi Unair, Jumat (29/10).
Selain itu juga disertai dengan dengan keluhan tambahan, seperti nafsu makan turun, mudah letih, berat badan turun, dan apabila kondisi lanjut bisa koma.
Kemudian gejala kronis, yakni kesemutan, kulit terasa panas dan tebal, kram, mudah lelah dan ngantuk, mata kabur dan sering ganti kacamata, gatal sekitar kemaluan.
Lalu gigi mudah goyah dan lepas, kemampuan berhubungan ranjang turun, dan ibu hamil sering keguguran atau melahirkan bayi lebih dari empat kilogram.
"Gejala kronis yang sering membawa pasien ke dokter, gejala kronis ini sebenarnya sudah agak terlambat,” katanya.
Pakar dari Fakultas Kedokteran Unair itu mengungkapkan cara mencegah diabetes militus. Dirinya mengelompokkannya menjadi tiga, yaitu primer (mencegah terkena DM), sekunder (mencegah komplikasi), dan tersier (mencegah disabilitas dan kematian).
Pertama, primer yakni mengatur pola makan, aktivitas fisik, menghentikan kebiasaan merokok, dan kelompok risiko tinggi perlu diintervensi farmakologis.
Sementara untuk sekunder yaitu mengendalikan gelikemik dan faktor risiko tinggi, rajin memeriksakan diri untuk mendeteksi komplikasi awal, dan vaksinasi.
Terakhir tersier yaitu mencegah kecacatan, rehabilitasi dini, dan perlu pelayanan kesehatan komprehensif dan terintegrasi.
“Genetik tidak harus menjadi diabetes, ada kaitannya memang tapi diabetes juga bergantung faktor lain. Kalau jauh-jauh hari kita sudah tahu ada gen diabetes maka bisa dilakukan deteksi dini," tandasnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News