GenPI.co Jatim - Akademisi Universitas Brawijaya (UB) Malang, Rachmat Kriyantono menyesalkan pengeroyokan yang terjadi terhadap Dosen Universitas Indonesia Ade Armando.
Ketua Departemen Ilmu Komunikasi UB itu sangat menyesalkan kejadian tersebut, terlebih tindakan kekerasan yang dilakukan hingga menelanjangi Ade Armando tidak bisa ditolerir dengan alasan apapun.
“Apapun alasannya, tindakan yang dialami Ade Armando adalah perilaku di luar batas manusiawi. Tidak pantas dilakukan siapa pun. Apalagi kejadian dilakukan di bulan suci Ramadan ini,” ucapnya, saat dikonfirmasi GenPI.co Jatim, Rabu (13/4).
Pria yang akrab disapa Cak RK ini menyatakan demonstrasi telah dilindungi sebagai hak kebebasan berpendapat sebagai ruh demokrasi. Tetapi, cara menyampaikan pendapat dan apa saja isu yang bisa disampaikan juga ada koridor aturannya.
Terlebih, dalam aksi tersebut, Ade Armando sebenarnya konsisten menentang wacana tiga periode presiden dan pemilu ditunda. Artinya, dia satu pihak dengan demonstran.
“Demokrasi itu bukan hanya kebebasan individu tetapi juga tentang menghormati hak orang lain. Setelah kejadian itu dapat diartikan ini merupakan cermin komunikasi politik kebencian,” sesalnya.
Dia menjelaskan, komunikasi politik kebencian sudah muncul sejak pilpres 2014 dan terus memuncak saat pilkada DKI pada 2017 dan pilpres 2019.
Dari pengamatannya, saat ini anak bangsa saling melakukan penyerangan bukan pada gagasan yang dibawa, tetapi pada aspek SARA yang berkonotasi negatif dalam suatu kampanye politik identitas yang bersifat negatif.
Alumni S3 University of Western Australia ini menilai jika motif pengeroyokan itu karena pemikiran Ade di channel youtubenya yang cenderung berbeda pendapat dengan oposisi, mestinya perbedaan itu esensi demokrasi yang harus saling dihormati.
“Perbedaan itu mestinya dilawan dengan menyampaikan konter informasi. Ada prinsip demokrasi yang penting, yakni lawanlah informasi dengan informasi, tentu Data based information bukan hoaks,” tegas Cak RK.
Setelah kejadian pengeroyokan tersebut, Rachmat berharap mahasiswa menyampaikan aspirasi dengan ilmu. Demonstrasi merupakan hak, tetapi, dalam era demokrasi modern ini, akan lebih baik jika menjadikan demonstrasi sebagai alternatif terakhir.
“Menurut saya mahasiswa lebih baik menggelar semacam simposium antar mahasiswa. Para pimpinan BEM bisa berkumpul untuk mengevaluasi situasi bangsa. Outputnya bisa berupa pernyataan sikap yang bisa disebarkan ke media massa, DPR maupun pemerintah,” usulnya.
“Apakah ini sudah dilakukan? Jika sudah dilakukan, apakah tidak ada respon dari pemerintah atau DPR? Jika tidak ada maka bisa disebut muncul ketersumbatan channel komunikasi politik. Jika tersumbat maka demonstrasi menjadi pilihan akhir,” sambung Rachmat. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News