GenPI.co Jatim - Pakar Hukum Universitas Airlangga atau Unair Dwi Rahayu Kristanti memandang, disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang merupakan gerbang terwujudnya keadilan bagi para penyintas.
Tinggal sekarang implimentasinya yang harus dilakukan secara tepat dan butuh dukungan dari berbagai pihak agar keadilan bisa terealisasi.
"Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU TPKS menggunakan orientasi kepada korban, sehingga dianggap dapat memberi keadilan bagi korban," kata Rahayu, Selasa (19/4).
Secara perspektif ada tiga hak yang dimiliki oleh korban, yakni penanganan, perlindungan, dan pemulihan.
Rahayu menyebut, usai disahkannya undang-undang tersebut berarti kini negara punya tanggung jawab penuh pada korban.
Pemulihan pada korban, kata dia, merupakan hal yang penting. Hal itu juga membutuhkan waktu yang tak singkat.
"Ada persyaratan dalam undang-undang kekerasan seksual selama ini, contohnya harus tinggal satu rumah dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan korban harus berusia di bawah 18 tahun dalam UU Perlindungan Anak," katanya.
Kasus-kasus yang tidak menyentuh syarat-syarat tersebut akhirnya kini mampu diakomodir.
Akademisi bidang hukum tata negara itu menambahkan, disahkannya UU TPKS itu memunculkan kemungkinan meningkatnya laporan kasus tindak kekerasan seksual.
Menurutnya, hal itu merupakan sebuah fenomena gunung es atau dalam artian terdapat banyak kasus yang belum terkuak.
"Karena adanya dukungan akses dan jaminan bagi pelapor, maka masyarakat akan dikonstruksi agar lebih berani dan yakin dalam melaporkan kasus dalam lingkup kekerasan seksual," terangnya.
UU TPKS juga bukan menjadi akhir bagi perjuangan penegakan hukum, namun menjadi langkah yang membutuhkan tindaklanjut dan harus mendapatkan pengawasan ketat. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News