Fenomena Citayam Fashion Week, Sosiolog UMM Beri Penjelasan

20 Juli 2022 21:00

GenPI.co Jatim - Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan gerakan anak muda di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, yang diberinama Citayam Fashion Week.

Melihat fenomena yang terjadi di generasi Z sekarang, Kepala Program Studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Luluk Dwi Kumalasari mengakui, kepopuleran tersebut menuai banyak pro dan kontra.

Sebagian masyarakat mengapresiasi cara kreatif para remaja mengekspresikan diri. Namun, ada juga yang menilai bahwa aksi tersebut mengganggu dan membuat kumuh kawasan Sudirman.

BACA JUGA:  East Java Moslem Fashion, Buka Peluang UMKM dapat Cuan

Menurutnya, Citayam Fashion Week merupakan fenomena yang wajar. Hal ini didasarkan pada naluri manusia sebagai makluk sosial untuk membentuk kelompok sesuai karakteristik dan tujuan tertentu.

Anak-anak muda tersebut, kata dia, juga berasal dari wilayah sekitaran Ibu Kota, seperti Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok.

BACA JUGA:  Batik Shibori Sukses Curi Perhatian Fashion Show di Malang

“Saya melihat bahwa keberadaan Citayam Fashion Week ini merupakan sarana para anak muda untuk mengungkapkan diri mereka secara jujur melalui sebuah fashion,” ungkap Luluk pada GenPI.co Jatim, Selasa (19/7).

Selain perkembangan tren fasyen, Luluk menjelaskan, perkembangan sosial media juga turut mempengaruhi keberadaan tren ini, utamanya TikTok.

BACA JUGA:  Pelajar SMK Unjuk Gigi di Banyuwangi Fashion Festival

Para remaja di Citayam Fashion Week ini memanfaatkan sosial media untuk menjadi terkenal dan mendapatkan uang. Hal ini juga melahirkan banyak seleb Instagram dan seleb TikTok seperti Jeje, Bonge, Kurma, Roy,dan lainnya.

“Keberadaan sosial media memengaruhi cara para remaja untuk berkreasi dan Citayam Fahion Week menjadi wadah baru untuk mereka. Munculnya komunitas ini juga menjadi sebuah wacana baru bahwa fashion yang identik dengan kalangan atas, juga bisa dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah,” bebernya.

Meski begitu, Luluk menyebut, ada dampak positif dari kemunculan tren ini yaitu para remaja menjadi lebih memahami kehidupan bersosial.

Kreatifitas para remaja sebagai content creator di media sosial juga meningkat. Selain itu, keberadaan para remaja ini juga meningkatkan penghasilan para Pedangan Kali Lima (PKL) yang berada di sekitar Sudirman.

“Selain dampak positif, tentu saja hal ini juga menimbulkan beberapa dampak negatif seperti budaya buang sampah sembarangan dan cara berpakaian yg dinilai terlalu terbuka,” ujar dosen Sosiologi ini.

Luluk menjelaskan bahwa untuk melakukan pengurangan dampak negatif, perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak, utamanya pemerintah.

Hal-hal yang bisa dilakukan adalah dengan mengedukasi, mengarahkan, dan pendampingan kepada para remaja agar komunitas ini tetap berlangsung namun dengan minim dampak buruk.

“Secara keseluruhan saya memandang bahwa tren ini sebagai hal yang positif. Saya berharap komunitas ini menjadi terkenal secara positif tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia Internasional. Saya juga berharap komunitas ini dapat menunjukkan sebuah budaya fashion baru yang memiliki karakter sendiri,” pungkasnya. (*)

 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co JATIM