Stunting Butuh Penanganan Ekstra, Dosen Unair Turun ke Lapangan

13 November 2021 07:30

GenPI.co Jatim - Permasalahan stunting membutuhkan penanganan ekstra untuk menyelesaikannya, bahkan dosen Unair sampai turun ke lapangan.

Ya, Unair, melalui Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) gencar memasukkan isu stunting lewat mata kuliah Program Gizi dan Evaluasi.

Dalam praktiknya, Unair juga melakukan pendampingan melalui KKN dari mahasiswa.

BACA JUGA:  Nelayan Banyuwangi Senang, Puan Maharani Beri Bantuan

Guru Besar FKM Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. Sri Sumarmi mengatakan, kegiatan-kegiatan dengan menerapkan ilmu pengukuran anak stunting, seperti metode antripometeri merupakan bentuk pengabdian kepada maayarakat.

"Dosen-dosen FKM UNAIR juga sering memberikan masukan dan pendampingan. Ada 11 kabupaten yang kita dampingi saat penyusunan regulasi pencegahan stunting. Kita juga memberi pendampingan posyandu bagi 18 kabupaten di Jawa Timur," kata Prof. Mamik sapaan akrabnya, melalui keterangan tertulis, Jumat (12/11).

BACA JUGA:  3 Kecamatan di Jember Banjir, Bupati Hendy Tahu Penyebabnya

Penelitian kata Mamik menjadi sarana perguruna tinggi untuk memberikan intervensi secara spesifik dan interensi sensisitf melalui bidang penelitian, berupa riset impelementasi.

Hasil riset dapat dijadikan sebagai saran kepada pemerintah untuk merumuskan regulasi penanganan stunting.

BACA JUGA:  Solar Tumpah, Arus Lalu Lintas Singosari Mengular

Di sisi lain, pemerintah juga telah mencanangkan target penurunan tingkat prevalensi stunting di Indonesia sebesar 14 persen, di tahun 2024 mendatang.

Meski tingkat prevalensinya mulai menurun dari tahun ke tahun, namun penurunan tersebut terbilang tidak cukup untuk meraih target di tahun 2024.

Mamik menyebut, tantangan meminimalisir angka prevalensi stunting yakni dari regulaai dan data di tingkat daerah maupun pusat.

Ia bersama dosen maupun mahasiswa di FKM UNAIR telah sering bergerilya dalam upaya penanganan stunting di berbagai daerah.

"Ketika daerah membuat perencanaan, yang dibutuhkan tentu datanya harus tahunan. Sementara Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) hanya mengeluarkan data tiap lima tahun sekali," terangnya.

Perbedaan tersebut akhirnya mengganggu proses intervensi penanganan stunting yang membutuhkan data rutin, sementara data rutin dari pemerintah pusat jauh berbeda.

Mamik menyarankan pemerintah daerah untuk memakai data rutin daerah. Namun dengan syarat, proses pengukuran dan analisis harus dilakukan dengan benar dan alat terstandar.

"Masalahnya, banyak daerah atau posyandu yang belum punya alat sesuai standar. Begitu pula dengan praktik pengukurannya yang masih seringkali tidak tepat," jelasnya. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co JATIM