Jatim.GenPI.co - Petani di Kabupaten Tulungagung, mengeluh harga cabai di pasaran menyentuh kisaran Rp 4 ribu per kilogram, sehingga berpotensi menyebabkan kerugian.
Hal ini karena tidak sepadan dengan biaya produksi (tanam dan perawatan) yang sudah disediakan.
"Normalnya harga cabai itu ya di kisaran Rp10 ribu - Rp30 ribu per kilogram. Kalau sudah di bawah Rp10 ribu, petani pasti rugi," kata Suyono, petani cabai di Desa Bendosari, Kecamatan Ngantru, Tulungagung, Rabu (25/8) kemarin.
Ia mengaku tidak yakin penyebab anjloknya harga cabai di pasaran. Kemungkinan juga karena panen yang bersamaan di daerah-daerah penghasil cabai.
"Kalau sudah (harga) rusak begini, kami memilih tidak panen dulu. Membiarkan cabai yang matang membusuk daripada dipanen akan tetapi hasil penjualannya bahkan tidak cukup untuk menutup biaya tanam dan petiknya," ujarnya.
Suyono menjelaskan, kondisi ini sudah terjadi sejak pandemi Covid-19. Ia tak menampik kemungkinan serapan pasar yang menurun dampak pandemi. Sebab banyak rumah makan, restoran dan hotel yang tutup, hal ini berdampak pada komoditas cabai.
Belum lagi daya beli masyarakat yang ikut tertekan akibat PPKM sehingga volume belanja kebutuhan rumah tangga dan dapur ikut berkurang.
"Warung banyak yang tidak beroperasi, sehingga tidak pakai cabai," katanya.
Ironisnya, kendati terdampak langsung dengan pandemi dan PPKM, petani seperti Suyono belum tersentuh bantuan dari pemerintah.
Di lahan setengah hektare miliknya ini seluruhnya ditanami cabai jenis tampar dan godo. Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tak mungkin dirinya bakal beralih ke tanaman lain yang lebih laku di pasar.
"Kalau tidak menguntungkan, kenapa mesti dipertahankan. Mending beralih ke tanaman lain," ujarnya. (ant)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News