Pelaku Kekerasan Seksual SMA SPI Dikenal Seorang Motivator

07 Juli 2022 12:00

GenPI.co Jatim - Kasus kekerasan seksual yang terjadi di SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu ternyata dilakukan oleh sosok motivator handal, yakni JEP yang sekaligus pemilik sekolah SPI.

Kejadian kekerasan seksual yang dilakukan JEP salah satu pendiri yayasan SMA SPI Kota Batu terhadap puluhan peserta didik dalam kurun waktu 2008-2020.

Kemudian ada pula dugaan eksploitasi yang dilakukan kepada peserta didik untuk bekerja hingga larut malam tanpa mendapatkan gaji yang layak. Tak berhenti disitu, kekerasan secara verbal dan fisik dilontarkan JEP dan juga para pengelola.

BACA JUGA:  Rumah Dijual di Pandaan, Harga Mulai Rp200 Jutaan

Baru-baru ini, ada dua perempuan yang mengaku diri mereka sebagai korban kekerasan yang dilakukan JEP. Keduanya berani bersuara di salah satu channel Youtube milik Deddy Corbuzier. Ditengarai, bahwa jumlah korban yang melapor bukan hanya dua melainkan ada belasan korban yang mengalami hal serupa.

"Ancaman kita ngerasain. Salah satunya kita ada anonim yang ngirimin kayak 'kalian dimana, kita jemput, kita patahin kaki kalian, nggak usah macem-macem' kayak gitu," ujar salah satu perempuan yang berada dalam podcast.

BACA JUGA:  Bidadari Malang, Penyanyi Cantik Jebolan Indonesian Idol

Sampai saat ini, JEP masih bebas berkeliaran karena pihak pengadilan tidak menahan yang bersangkutan. Hal tersebut kewenangan dari majelis hakim persidangan.

Humas Pengadilan Negeri Malang Mohammad Indarto yang mengatakan bahwa penaganan itu adalah kewenangan dari setiap tingkat pejabat dalam suatu proses peradilan.

BACA JUGA:  Sosok Bupati Lumajang, Tak Segan Sikat Tambang Pasir Ilegal

"Penyidik juga memiliki kewenangan untuk menahan, penuntut umum juga memiliki kewenangan untuk menahan, majelis hakim yang menyidangkan suatu perkara, juga mempunyai kewenangan untuk menahan," ucap Indarto saat dikonfirmasi GenPI.co Jatim, Kamis (6/7).

Berdasarkan penelusuran GenPI.co Jatim, sidang kasus dugaan kekerasan seksual yang dialami oleh kedua perempuan tersebut telah bergulir sebanyak 22 kali. Namun, selama jalannya persidangan masih belum ada proses penahanan yang dilakukan oleh pengadilan.

Menurut Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait, hal itu menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia. Keputusan yang diambil oleh majelis hakim dinilai tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, dimana terdakwa harus ditahan selama mengikuti proses persidangan.

"Karena dalam UU 16 Tahun 2017 itu dikenakan pasal terhadap terdakwa dengan hukuman minimal lima tahun dan bisa hukuman," kata Arist. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co JATIM